Pengaruh uang pada Pemilu, kombet : bisa hancur bangsa ini
Kawalbangsa. Com, pasaman barat.
Pemilu dengan sistem pemilihan langsung oleh semua rakyat pasti akan butuh uang banyak. Karena itu pemilu sudah seperti industri tampaknya.
Memang awalnya pemilu ini merupakan sarat mutlak sahnya demokrasi di sebuah negara. Tapi sekarang pemilu telah menjadi ajang pesta uang dan pesta modal.
Tentu hanya para orang kaya saja yang akan bisa untuk berkuasa. Adapun simiskin, akan selamanya jadi warga biasa. Diatur -atur, dan tidak pernah ikut mengatur negara ini.
Lama -lama negara inipun bisa menjadi industri. Dimana negara ikut berdagang dengan rakyatnya. Buktinya Pajak naik. BBM naik. Listrik naik. Air naik. Semua naik. Itulah ciri negara kapitalis.
Ini yang dikhawatirkan tokoh kita bernama populernya bapak Kombet. Kombet adalah seorang petualang politik ujung gading, pasbar, sumbar, yang telah malang melintang dalam dunia persilatan partai dan caleg mencaleg.
Dia tidak mau berpikir terlalu berbelit- belit dan jelimet. Tapi dia bisa melihat kesalahan nyata pada sistem pemilu kita.
Bahkan dulu dia pernah jadi timses calon kepala daerah yang hampir saja menang. Namun kini kombet melihat segalanya makin ganjil. Semua serba uang.
" Saya kalau begini modelnya, khawatir saya akan masa depan bangsa ini. Serius. Orang miskin yang pintar hampir pasti tidak akan punya tempat dalam pemilu sebagai calon yang menang." Kata kombet sedih saat bertemu dengan awak media kawalbangsa. Com, di kantor camat lembah melintang, saat ikut mengawal kotak suara pada malam jumat (15/02).
"Sekarang banyak caleg yang stres ringan. Coba pikir, uang sudah habis, kebun terjual. Suara tak juga cukup untuk menang. Bisa gilo tu. Gilo. Kita harus ikut simpati kepada caleg- caleg itu. Karena bagaimanapun mereka saudara kita juga dalam satu rasa nkri." Sambung kombet.
Sosok kombet sangat dikenal dalam dunia perpemiluan dan dunia pilkada di ujunggading. Baginya sudah biasa dilapangan politik itu saling pura-pura baik dan manis diluarnya. Namun di batin mereka bisa saja sedang perang hebat dan saling menikam.
Tapi kalau melihat pemilu tahun ini kombet geleng-geleng kepala. Semua butuh uang, uang dan uang.
Coba bayangkan dan hitung pelan- pelan. Alat peraga kompanye uang. Biaya Timses uang. Kenduri untuk membujuk dan kumpulkan warga kampung perlu uang. Rekrut saksi-saksi uang. Mintak jampi- jampi ke Dukun uang. Agar selalu terlihat hilir mudik hebat sehingga bawa-bawa pendamping perlu uang. Mendaftar ikut caleg ke partai anu perlu uang. Mengambil nomor urut tinggi di partai anu butuh uang. Merebut jadi ketua partai x mesti dengan uang. Serangan fajar tentu uang. Serangan bulanan butuh uang. Serangan mingguan juga uang. Serangan harian lagi -lagi uang. Duduk di kedai kopi juga butuh uang buat mentraktir orang. Detik- detik menuju kotak suarapun masih juga perlu uang.
Belum lagi selama kompanye ini sang caleg harus akting agar selalu terlihat baik, ramah, pintar, dan lapang dada serta terkesan dermawan.
Pokoknya caleg itu mesti ahli seni peran selama pemilu ini. Tapi begitu selesai mencoblos tanggal 14 februari kemaren, maka caleg itu banyak yang langsung jadi berobah ke sifat aslinya. Jadi sombong lagi. Tidak semua caleg tentunya.
Bahkan beberapa ada yang caleg itu menghilang. HP nya sudah non aktiv. Timsesnya juga banyak yang menhilang dan lari karena dicari oleh caleg yang merasa ditipu oleh timsesnya itu.
Ada juga saksi yang cari cari calegnya. Karena uang saksi belum lunas. Seru sekali. Ramai pokoknya. Wong namanya pesta to.
Walaupun sudah begitu rupa para pemilih telah dimanjakan oleh para caleg, namun jika caleg silap sedikit saja, misalkan satu kehendak sipemilih itu tidak dipenuhi menjelang hari H, maka pemilih tadi akan pindah juga ke lain hati. Waduh. Licik juga warga itu. Rakyat juga jahat ternyata. Penipu juga. Munafik juga. Tentu sebagian. Pokoknya pemilu kali ini ngeri. Betul betul ngeri.
Entah siapa yang salah. Apakah partai, caleg, KPU, UU, sistem, budaya rakyat, budaya politik , atau memang tidak ada yang salah ?
"Mari kita tanya kepada hembusan semilir angin malam. Jangan saling menyalahkan." Tingkah kombet puitis penuh makna.
Memang beberapa praktek politik dilapangan mirip dengan sistem dan cara-cara setan iblis, begu abar hantu balau.
"Borat do namarpantion bah. Memang borat do.
iambang kalai rangku tali anggunan. Padahal tali panyingkotan. Da uboto be. On bat me nagilo on. " Ujar pak ketua sambil menghembuskan asap rokok sampoernanya ke arah langit.
Pemilu memang pesta rakyat. Termasuk didalamnya pesta uang. Kapan lagi rakyat makan uang orang kaya itu ?
Demikian kelihatannya alasan pembenar di hati publik. Namun tetap saja salah dimata hukum dan di PKPU. Karena tidak boleh money politik.
"Ada uang caleg di sayang. Tidak ada uang caleg melayang. "
"Hepeng do mangatur negaraon."
Sepertinya, istilah istilah populer itu memang sedang terbukti pada saat ini. Diduga kalau tidak ada uang 700 juta ke atas tidak bisa menang. Diduga.
Tapi kombet yang dikenal ramah ini, tetap berharap bahwa indonesia bisa bangkit satu ketika nanti untuk membuat sistem pemilu yang tidak butuh uang. Bagaimana caranya ?
" Kok itu pulo indo urusen ku lai tu. Orang orang yang pintar-pintar di jakarta tu lah yang mengurusnya. Yakan co..? " Ucap kombet sambil tertawa keras sebagai ciri khasnya kepada awak media kawalbangsa.
Terlihat pak kombet memang merenung dalam, tentang nasib indonesia ini di masa generasi anak cucunya kelak. Karena kombet memang cinta mati kepada bangsa bernama indonesia ini. []
Penulis : ajay
Disunting : pemred
0 comments:
Post a Comment