Lapangan Kerja dan Pengangguran: Program yang Terlupakan di Tengah Ketimpangan Sosial
(Catatan Kritis Terhadap Visi Misi dan Program Unggulan para Calon Kepala Daerah dan Calon Wakil Kepala Daerah Kabupaten Pasaman Barat - Bagian 1 dari 3)
KITA disuguhi data bahwa peningkatan angka pengangguran terus saja meningkat dan isu penciptaan lapangan kerja sering kali tidak menjadi fokus utama dalam program unggulan para calon kepala daerah. Meski pengangguran adalah masalah serius yang menyentuh berbagai lapisan masyarakat, perhatian yang diberikan oleh para calon cenderung minim. Mengapa ini terjadi? Apa saja faktor yang turut memperparah kondisi pengangguran ini? Kita bisa menelusuri berbagai penyebab yang saling terkait: rendahnya kualitas pendidikan, monopoli pengelolaan sumber daya alam, judi online yang marak, tingginya biaya pendidikan, dan minimnya akses terhadap program Corporate Social Responsibility (CSR).
Rendahnya Kualitas Pendidikan: Akar Permasalahan
Salah satu penyebab tingginya pengangguran adalah rendahnya kualitas pendidikan. Meski pemerintah berulang kali menjanjikan peningkatan mutu pendidikan, kenyataannya akses terhadap pendidikan berkualitas masih sangat terbatas. Kurikulum yang tidak relevan dengan kebutuhan pasar kerja, kurangnya fasilitas, dan rendahnya kompetensi tenaga pendidik menyebabkan lulusan sekolah maupun perguruan tinggi sulit bersaing di dunia kerja.
Tingginya biaya pendidikan juga memperparah masalah ini. Alih-alih menjadi alat mobilitas sosial, pendidikan menjadi barang mewah yang hanya bisa diakses segelintir orang. Calon kepala daerah sering kali tidak mengaitkan program penciptaan lapangan kerja dengan pendidikan, sehingga lulusan dengan keterampilan rendah semakin terjebak dalam lingkaran kemiskinan dan pengangguran.
Monopoli Pengelolaan Sumber Daya Alam: Menghambat Peluang Ekonomi
Monopoli pengelolaan sumber daya alam, seperti tambang, hutan, dan perkebunan kelapa sawit, semakin mempersempit ruang bagi masyarakat lokal untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Perusahaan besar menguasai lahan dan aset alam tanpa memberikan kontribusi yang sepadan kepada masyarakat sekitar. Banyak dari mereka yang bekerja di sektor-sektor ini hanya terlibat sebagai pekerja kontrak dengan upah rendah, tanpa ada kesempatan untuk berkembang.
Selain itu, calon kepala daerah sering kali tidak memiliki visi atau keberanian untuk menantang monopoli ini. Alih-alih memaksimalkan potensi sumber daya alam demi kesejahteraan masyarakat, mereka lebih memilih berkolaborasi dengan pengusaha besar yang cenderung mengabaikan tanggung jawab sosial, seperti pemenuhan hak CSR kepada masyarakat sekitar.
Maraknya Judi Online: Mengikis Produktivitas dan Moral Masyarakat
Sementara lapangan kerja semakin sempit, judi online menjadi salah satu "pelarian" bagi masyarakat yang terjebak dalam ketidakpastian ekonomi. Tanpa adanya lapangan kerja yang jelas, banyak orang beralih ke aktivitas ilegal ini dengan harapan mendapatkan keuntungan cepat. Namun, kenyataannya, judi online justru mengikis produktivitas, merusak moral, dan memperburuk kondisi ekonomi masyarakat.
Sayangnya, dalam program-program unggulan, isu ini hampir tidak pernah disinggung. Para calon kepala daerah tampaknya menganggap masalah ini sepele atau bahkan mengabaikannya sepenuhnya. Padahal, judi online telah menciptakan generasi yang semakin jauh dari lapangan kerja produktif dan berkontribusi pada meningkatnya angka pengangguran.
Tidak Ada Akses Beasiswa serta Biaya Pendidikan yang Tinggi
Selain masalah kualitas, tingginya biaya pendidikan juga menjadi penghalang besar bagi banyak masyarakat untuk meningkatkan keterampilan dan mendapatkan pekerjaan yang layak. Program beasiswa yang tersedia sering kali hanya berasal dari pemerintah, sementara akses ke beasiswa swasta sangat terbatas. Salah satu alasannya adalah kurangnya jaringan antara calon kepala daerah dengan penyedia beasiswa dari sektor swasta.
Calon kepala daerah seharusnya melihat pentingnya menjalin kerja sama dengan lembaga-lembaga swasta, baik nasional maupun internasional, untuk membuka akses pendidikan yang lebih luas bagi masyarakat miskin. Tanpa akses ini, pendidikan tetap menjadi barang mahal yang hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu, dan pengangguran terus meningkat karena minimnya tenaga kerja berkualitas.
CSR yang Terbatas di Sektor Perkebunan Kelapa Sawit
Perusahaan besar yang mengelola perkebunan kelapa sawit sering kali mengabaikan kewajiban mereka untuk memberikan kontribusi sosial melalui program CSR. Kewajiban ini sebenarnya bisa menjadi jalan keluar bagi banyak masyarakat lokal untuk mendapatkan pelatihan kerja, pendidikan, atau fasilitas umum yang mendukung pengembangan kapasitas mereka. Namun, dalam praktiknya, akses terhadap hak CSR ini sangat terbatas.
Calon kepala daerah sering kali tidak memiliki rencana jelas untuk menekan perusahaan agar memenuhi tanggung jawab sosial mereka. Akibatnya, masyarakat lokal yang tinggal di sekitar perkebunan atau tambang besar tetap tertinggal, tanpa adanya kesempatan untuk mengakses pendidikan atau pelatihan yang dapat meningkatkan peluang kerja mereka.
Prioritas yang Salah
Dalam realitas yang kompleks ini, pengangguran seharusnya menjadi fokus utama program unggulan para calon kepala daerah. Namun, berbagai faktor seperti rendahnya kualitas pendidikan, monopoli sumber daya alam, maraknya judi online, tingginya biaya pendidikan, minimnya akses beasiswa, dan terbatasnya hak CSR, tidak pernah diangkat dengan serius.
** Denni Meilizon, Penulis dan Ketua Forum Pegiat Literasi Pasaman Barat.
0 comments:
Post a Comment