Opini, kawalbangsa. Com----
Menjelang Pilkada, mahasiswa, terutama para senior dan pemimpin organisasi, baik itu organisasi internal kampus maupun eksternal kampus memiliki tanggung jawab yang besar untuk menjaga integritas dan marwah sebagai mahasiswa STAI YAPTIP Pasaman Barat khususnya dan sebagai generasi intelektual bangsa. Keterlibatan dalam politik praktis, khususnya jika itu melibatkan penjualan suara mahasiswa, tidak hanya mencemari reputasi individu tetapi juga merusak nilai-nilai luhur yang kita junjung.
Belum lama ini, beredar video yang mengatasnamakan mahasiswa Pasaman Barat mendukung salah satu pasangan calon. Namun, perlu diperjelas bahwa video tersebut hanya mencerminkan sekelompok orang yang tidak berhak mewakili suara mayoritas mahasiswa Pasaman Barat.
Selain itu, laporan masyarakat adanya pesan dari salah satu pimpinan organisasi kampus yang menyatakan kesediaan untuk berkontribusi dan membantu tim pemenangan melalui grup WhatsApp.
Sangat jelas pimpinan organisasi yang terlihat bergerak aktif dari satu posko pemenangan ke posko lainnya, menciptakan kesan bahwa suara mahasiswa bisa dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu.
Perlu diingat bahwa berpolitik secara pribadi adalah hak setiap individu. Namun, masalah muncul ketika seorang pemimpin organisasi terlibat dalam praktik tersebut. Status kepemimpinan tidak dapat diabaikan. Sebagai pemimpin, Anda adalah role model bagi anggota organisasi dan masyarakat. Ketika publik melihat Anda terlibat dalam politik praktis, dampaknya dapat merugikan reputasi organisasi.
Kondisi ini sangat memprihatinkan dan menjadi ancaman bagi masa depan kita. Kita harus menolak tegas setiap bentuk politik transaksional yang berusaha mengeksploitasi suara mahasiswa untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Ketika seseorang mengklaim mampu "mengondisikan" suara mahasiswa, kita wajib mempertanyakan integritas mereka. Klaim semacam itu mencerminkan ketidakpahaman mereka terhadap keragaman dan kompleksitas suara mahasiswa.
Lebih lanjut, ada peraturan yang jelas mengenai larangan organisasi mahasiswa, khususnya di Sekolah Tinggi Agama Islam, untuk terlibat dalam politik praktis. Berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan tinggi harus berfungsi untuk mengembangkan karakter dan moralitas bangsa, serta tidak terlibat dalam politik praktis yang dapat merusak tujuan tersebut. Selain itu, peraturan dari Kementerian Agama serta pedoman internal setiap sekolah tinggi agama Islam mengatur dengan tegas larangan bagi organisasi mahasiswa untuk berpolitik praktis agar tetap menjaga netralitas dan fokus pada pengembangan akademik dan spiritual.
Oleh karena itu, kita perlu menantang klaim tersebut dengan pertanyaan kritis: Apakah Anda benar-benar bisa menggerakkan suara mahasiswa secara kolektif? Siapa yang memberi Anda mandat untuk berbicara atas nama kami? Suara mahasiswa tidak dapat diwakili oleh segelintir individu tanpa legitimasi yang jelas. Mereka yang mengklaim mampu mengondisikan suara kita hanyalah sekelompok orang yang tidak berhak mewakili mayoritas.
Jika para politisi dan tim pemenangan mempercayai klaim-klaim tersebut, kredibilitas mereka sebagai pemimpin sangat patut dipertanyakan. Mereka berisiko merusak reputasi mereka sendiri dengan mengandalkan pihak yang tidak memiliki kredibilitas.
Sebagai mahasiswa, kita harus menyadari bahwa suara kita adalah kekuatan yang nyata. Tanggung jawab kita bukan hanya menjaga integritas, tetapi juga memperkuat dialog terbuka di kampus. Diskusi yang jujur dan konstruktif harus menjadi ruang bagi setiap mahasiswa untuk mengekspresikan pendapat tanpa rasa takut. Dengan cara ini, kita memperkuat posisi kita sebagai kekuatan moral dan intelektual dalam proses politik yang sehat.
Kita perlu membangun kesadaran politik di kalangan mahasiswa agar mampu berpikir kritis dan mandiri dalam membuat keputusan politik. Dengan demikian, kita berkontribusi pada terciptanya demokrasi yang lebih matang, baik di kampus maupun di masyarakat.
Akhirnya, mari kita berkomitmen untuk menjaga integritas sebagai mahasiswa. Jangan biarkan suara kita diperalat atau disalahgunakan demi kepentingan politik praktis. Mari bersatu untuk memastikan bahwa suara mahasiswa tidak hanya didengar, tetapi juga dihargai sebagai bagian integral dari proses demokrasi yang sehat.
Dengan menjaga integritas dan prinsip kita, kita dapat menciptakan perubahan positif yang nyata, tidak hanya bagi kampus tetapi juga bagi bangsa ini. Suara kita adalah kekuatan, dan kita harus menggunakannya untuk membangun masa depan yang lebih baik.[]
Rizal Bakri Nasution
Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Pasaman Barat
0 comments:
Post a Comment