Ketika Hukum Tak Lagi Bermartabat: Sebuah Renungan


Ketika Hukum Tak Lagi Bermartabat: Sebuah Renungan

Oleh : Nopis Satria

Hari ini, kita disuguhkan pemandangan yang membuat hati mual dan kepala pening. Berbagai permasalahan hukum berseliweran di media sosial dan di sekitar kita, memperlihatkan betapa hukum seakan kehilangan harga dirinya. Sebenarnya, bukan hukum itu sendiri yang kehilangan martabat, tetapi para oknum yang seharusnya menjaganya. Mereka yang seharusnya menegakkan keadilan justru abai, bahkan menjadikan hukum sebagai alat untuk kepentingan pribadi. Yang haram dihalalkan, yang halal dikaburkan. Begitulah kenyataannya.

Ketidakpedulian yang Terstruktur

Salah satu contoh yang belakangan ini menjadi sorotan adalah kasus pagar laut yang viral di seantero negeri. Sebuah peristiwa yang mustahil luput dari pengawasan pejabat berwenang, namun anehnya, seakan tidak ada satu pun yang benar-benar peduli. Bagaimana bisa ketidakadilan yang begitu mencolok hanya direspons oleh segelintir orang yang bahkan tak memiliki kuasa untuk bertindak? Ketidakpedulian ini bukanlah sesuatu yang kebetulan. Ini adalah hasil dari sebuah sistem yang secara sadar atau tidak telah dibangun untuk melindungi kepentingan segelintir pihak.

Di sisi lain, kita melihat bagaimana para mafia perusak lingkungan dan penguras kekayaan alam bisa beroperasi dengan leluasa. Mereka bahkan mendapat informasi lebih awal sebelum adanya pemeriksaan, sehingga selalu selangkah lebih maju dalam menghindari jerat hukum. Apakah ini kebetulan? Tentu tidak. Ada sesuatu yang "bermain" di balik layar, sesuatu yang membuat keadilan menjadi barang mewah yang sulit didapatkan oleh rakyat kecil.

Hukum Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas

Ada saatnya kita bangga melihat penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku kejahatan. Namun, setelah ditelisik lebih dalam, kenyataan pahit kembali terungkap: penindakan hukum terjadi secara tumpang tindih. Mereka yang memiliki kekuatan ekonomi dan jaringan luas bisa melenggang bebas, menikmati kemewahan hasil dari eksploitasi sumber daya. Sementara itu, rakyat kecil yang hanya berjuang untuk bertahan hidup malah ditekan, dihukum, dan dijauhkan dari kehidupan normalnya.

Betapa miris melihat ketimpangan ini. Mereka yang berkuasa tertawa lepas di kafe-kafe mewah, menyeruput kopi dengan kolega-kolega mereka, sementara di sudut lain, mereka yang tak berdaya hanya bisa menunduk pasrah menerima nasib. Yang kaya semakin kaya, yang lemah semakin terpuruk.

Keserakahan di Balik Segalanya

Pada akhirnya, semuanya hanya tentang uang. Keadilan menjadi komoditas yang bisa diperjualbelikan. Mereka yang memiliki kekuatan finansial dapat membeli kebebasan, sementara mereka yang tidak, harus menerima nasib buruk yang tak bisa mereka lawan. Ini bukan sekadar masalah hukum yang lemah, tetapi juga tentang mentalitas serakah yang telah mengakar di berbagai lini kehidupan.

Lalu, apakah masih ada harapan? Selama masih ada orang-orang yang berani bersuara dan melawan ketidakadilan, harapan itu tetap ada. Namun, perjuangan ini tidak mudah. Diperlukan keberanian, solidaritas, dan kejujuran untuk mengembalikan hukum ke tempatnya yang seharusnya: sebagai alat keadilan, bukan sebagai senjata para pemilik kuasa.

Pertanyaannya, beranikah kita melawan arus ini?


Penulis ; Nopis Satria_Pimpinan Kawalnegri.Online_IT/Redaksi Kawalbangsa.com


Post a Comment

Previous Post Next Post