Qalbun Salim dan Kesehatan Mental: Menyelami Makna As-Saffat Ayat 84–96
Oleh: Andri Saputra Lubis, S.Psi., M.Psi
_______________
Artikel, kawalbabgsa.com -----
Di tengah kehidupan modern yang penuh dengan tekanan, kecemasan, dan ketidakpastian, banyak orang mencari kedamaian sejati. Sebagian besar mencari ketenangan melalui hiburan-hiburan yang bersifat duniawi, dan sebagian kecil melakukan terapi psikologis. Namun dalam Islam, kita diajarkan untuk mencari ketenangan dari dalam hati yang bersih, yang dalam Al-Qur'an disebut sebagai qalbun salim.
Dalam Al-Qur'an Surat As-Saffat ayat 84, diceritakan bahwa Nabi Ibrahim datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci. Quraish Shihab, dalam tafsir al-Mishbah, menjelaskan bahwa qalbun salim adalah hati yang terjaga dari kekotoran emosional dan spiritual, seperti kesombongan, iri hati, dan kemusyrikan. Kondisi ini mencerminkan jiwa yang sehat dan seimbang, yang dalam Islam dikenal sebagai nafs muthmainnah, yaitu jiwa yang tenang.
Ibn Katsir juga menambahkan bahwa Nabi Ibrahim menghadap Allah dengan tauhid yang murni. Pemikiran ini sejalan dengan pandangan Imam Al-Ghazali, yang mengatakan bahwa qalbu adalah pusat moral dan spiritual manusia. Ketika qalbu terjaga dan terhubung dengan Tuhan, semua aspek kejiwaan akan menjadi lebih stabil dan sehat.
Abu Zayd al-Balkhi, ilmuwan Muslim abad ke-9, dalam karyanya Masalih al-Abdan wa al-Anfus (Pemeliharaan Jasmani dan Jiwa), menekankan pentingnya menjaga kesehatan jiwa seperti menjaga kesehatan tubuh. Ia membedakan antara kesedihan yang alami dan kesedihan yang patologis, dan menekankan bahwa pendekatan spiritual, seperti dzikir dan mempererat hubungan dengan Tuhan, sangat efektif dalam mengatasi tekanan psikologis.
Ayat selanjutnya, As-Saffat ayat 85, menyampaikan pertanyaan: mengapa menyembah berhala dan meninggalkan Tuhan, yang merupakan Pencipta terbaik? Ayat ini menggambarkan keterputusan spiritual seseorang, ketika mereka menggantungkan makna hidup pada hal-hal sementara, seperti kekayaan, popularitas, atau kekuasaan. Pandangan ini juga diperkuat oleh Ibnu Sina, yang mengungkapkan bahwa ketidakseimbangan jiwa terjadi ketika ruh kehilangan arah dan hubungan dengan sumber utamanya, yaitu Allah.
Hal serupa juga ditegaskan oleh Viktor Frankl dengan logoterapinya, yang menyatakan bahwa penderitaan menjadi lebih berat jika seseorang kehilangan makna dalam hidupnya. Dalam Islam, makna sejati hidup ditemukan melalui pengesaan Allah dan penyerahan total kepada-Nya.
Dalam psikologi Konvensional, teori Abraham Maslow tentang Hierarki Kebutuhan memberikan wawasan tentang pentingnya pencarian makna dalam kehidupan. Menurut Maslow, manusia memiliki serangkaian kebutuhan yang harus dipenuhi, mulai dari kebutuhan dasar hingga pencapaian makna hidup yang lebih tinggi. Ketika kebutuhan dasar tercapai, manusia akan mencari pencapaian yang lebih bermakna, yaitu tujuan hidup yang lebih tinggi. Namun, Maslow sendiri menyadari bahwa pencapaian makna tersebut sering kali bersifat transendental, mirip dengan apa yang diajarkan dalam konsep qalbun salim dalam Islam.
Teori Carl Rogers tentang aktualisasi diri juga menunjukkan bahwa kesehatan mental dicapai ketika seseorang dapat hidup sesuai dengan potensi terbaiknya. Namun, dalam pandangan Rogers, fokusnya lebih kepada pencapaian individu dalam konteks sosial. Berbeda dengan Islam yang mengajarkan bahwa pencapaian makna tertinggi terhubung dengan hubungan dengan Tuhan, psikologi Barat lebih menekankan pencapaian diri secara pribadi.
Selain itu, Erik Erikson dalam teori perkembangan psikososialnya, menyatakan bahwa kesehatan jiwa terbentuk ketika individu mampu mencapai identitas yang sehat dan memiliki hubungan yang baik dengan orang lain. Dalam konteks ini, qalbun salim dalam Islam bisa dipandang sebagai pencapaian kesehatan mental yang lebih mendalam, yang melibatkan kedamaian batin dan hubungan yang kuat dengan Tuhan.
Tafsir al-Maraghi menyoroti bahwa penyembahan kepada berhala menggambarkan keterputusan manusia dari fitrahnya. Dalam psikologi Islam, keterputusan ini menjadi salah satu penyebab utama ketidaktenangan dan kegelisahan jiwa. Sebaliknya, qalbun salim adalah kondisi hati yang kembali pada fitrah, terhubung dengan Tuhan, dan hidup dalam ketenangan batin yang sejati.
Qalbun salim lebih dari sekadar tujuan spiritual; ia juga menjadi dasar kesehatan mental dalam perspektif Islam. Dalam psikologi Islam, keseimbangan antara akal, nafsu, dan ruh menjadi kunci untuk mencapai ketenangan jiwa yang sesungguhnya. Hal ini bukan hanya proses terapeutik, tetapi juga sebuah perjalanan eksistensial untuk menjadi pribadi yang utuh dan damai.
Pada akhirnya, ayat-ayat ini tidak hanya mencerminkan perjalanan Nabi Ibrahim, tetapi juga memberikan petunjuk yang universal bagi siapa saja yang ingin mengatasi luka batin dan kegelisahan zaman.
Al-Qur’an bukan hanya kitab hudan (petunjuk), tetapi juga syifa' (obat) bagi hati yang terluka. Oleh karena itu, menjadikan qalbun salim sebagai tujuan hidup adalah suatu keharusan di tengah kompleksitas kehidupan modern.
Akhirnya, ajaran tentang qalbun salim mengingatkan kita bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada pencapaian materi, tetapi pada ketenangan hati yang hanya dapat ditemukan dengan mendekatkan diri kepada Tuhan. Di tengah kehidupan yang penuh kecemasan dan kebingungan, mungkin sudah saatnya kita merenung tentang apa yang benar-benar memberikan kedamaian sejati. Bukankah ketenangan yang hakiki hanya dapat dicapai ketika hati kita sepenuhnya terhubung dengan Sang Pencipta?
Oleh karena itu, marilah kita berusaha membersihkan hati kita dari segala hal yang mengotori dunia ini, dan menyelaraskan hidup kita dengan fitrah yang telah Allah berikan, agar setiap langkah kita dipenuhi dengan kedamaian dan keberkahan sejati. []
Editor : ZH Ajay
__________
Penulis adalah Mahasiswa Doktoral di UIN Sumatera Utara, Dosen di STAI Raudhatul Akmal, dan Penjamin Mutu di Ponpes Darul Adib Medan
Post a Comment